Jumat, 19 November 2010

DISTRIBUSI CADANGAN KOPERASI


PERMODALAN DAN MODAL DALAM KOPERASI

Sebagai badan usaha koperasi sama dengan bentuk badan usaha lainnya, yaitu sama-sama berorientasi laba dan membutuhkan modal. Koperasi sebagai wadah demokrasi ekonomi dan sosial harus menjalankan usahanya. Oleh karena itu kehadiran modal dalam koperasi ibarat pembuluh darah yang mensuplai darah (modal) bagi kegiatan-kegiatan lainnya dalam koperasi.

Dalam memulai suatu usaha, modal merupakan salah satu faktor penting disamping faktor lainnya, sehingga suatu usaha bisa tidak berjalan apabila tidak tersedia modal. Artinya, bahwa suatu usaha tidak akan pernah ada atau tidak dapat berjalan tanpa adanya modal. Hal ini menggambarkan bahwa modal yang menjadi faktor utama dan penentu dari suatu kegiatan usaha. Karenanya setiap orang yang akan melalukan kegiatan usaha, maka langkah utama yang dilakukannya adalah memikirkan dan mencari modal untuk usahanya. Kedudukan modal dalam suatu usaha dikatakan oleh Suryadi Prawirosentono (2002: 117) sebagai berikut:

Modal adalah salah satu faktor penting diantara berbagai faktor produksi yang diperlukan. Bahkan modal merupakan faktor produksi penting untuk pengadaan faktor produksi seperti tanah, bahan baku, dan mesin. Tanpa modal tidak mungkin dapat membeli tanah, mesin, tenaga kerja dan teknologi lain. Pengertian modal adalah “suatu aktiva dengan umur lebih dari satu tahun yang tidak diperdagangkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari.”

Modal merupakan kekayaan yang dimiliki perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan pada waktu yang akan datang dan dinyatakan dalam nilai uang. Modal dalam bentuk uang pada suatu usaha mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan usaha, yakni :
  • Sebagian dibelikan tanah dan bangunan
  • Sebagian dibelikan persediaan bahan
  • Sebagian dibelikan mesin dan peralatan
  • Sebagian lagi disimpan dalam bentuk uang tunai (cash)
Selain sebagai bagian terpenting di dalam proses produksi, modal juga merupakan faktor utama dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam pengembangan perusahaan. Hal ini dicapai melalui peningkatan jumlah produksi yang menghasilkan keuntungan atau laba bagi pengusaha. (bersambung di edisi berikutnya)


KEDUDUKAN MODAL DALAM KOPERASI


Anggota koperasi sebagai kumpulan orang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi melalui usaha ekonomi koperasi, dengan pengertian anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (UU Pasal 17) koperasi adalah perusahaan yang berorientasi kepada pengguna jasa atau user oriented firm (UOF). Koperasi bukan kumpulan modal atau perusahaan yang berorientasi kepada investor atau investororiented firm (IOF). Modal merupakan unsure penting dalam menjalankan usaha, tetapi jika koperasi mengandalkan kekuatan modal seperti pesaingnya, maka koperasi tidakakan mampu menandinginya. Jika koperasi menggunakan cara lawannya, maka koperasi akan menghadapi pergaulan tanpa akhir (never ending struggle) untuk memiliki modal yang mencukupi. Modal utama koperasi adalah orang atau anggotanya yang bersedia menyatukan usahanya melalui kegiatan koperasi.

Cara paling konvensional yang dianut koperasi dalam berusaha adalah pooling, yaitu pembelian atau penjualan bersama. Pembelian bersama dilakukan oleh koperasi konsumen yang anggotanya memerlukan barang konsumsi. Sedang penjualan bersama diperlukan oleh koperasi produsen yang anggotanya memerlukan penjualan barang yang diproduksi dan atau pembelian bersama sarana produksi. Meskipun modal tetap diperlukan, tetapi dengan pooling kebutuhan modal dapat ditekan serendah mungkin (minimized), karena tidak ada transaksi jual beli antara koperasi dengan anggotanya. Koperasi bekerja atas dasar anggaran atau operation at cost. Dalam hal ini bukan perhitungan untung-rugi yang digunakan, tetapi SHU atau surplus akibat efisiensi. Contoh pooling yang sampai sekarang tetap berjalan adalah penjualan susu yang dilakukan oleh koperasi di lingkingan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI)  kepada Industry Pengolahan Susu (IPS), dan penjualan Tandan Buah Segar (TBo\S) kelapa sawit kepada industry pengolajan minyak. Cara pooling memberikan alas an yang paling kuat bagi koperasi untk memperoleh keringanan pajak penghasilan, karena tidak ada transaksi jual-beli antara koperasi dengan anggota.

Masalah biasanya muncul ketika koperasi memasuki proses bisnis yang lebih rumit seperti bergerak dalam usaha pengolahan atau manufaktur, sehingga cara pooling menjadi kurang praktis. Pengumpulan bahan baku dari anggota dilakukan berdasar transaksi jual-beli, perhitungannya berdasar untung-rugi dengan perolehan keuntungan (laba) dan bukan surplus. Dalam cara ini insentif kepada anggota tetap dapat diberikan melalui harga pembelian yang tinggi sesuai perhitungan harga jual produk akhir (active price policy) disamping pembagian setiap tahun (deviden). Disamping itu, usaha koperasi lain yang berkaitan dengan penumpukkan modal anggota adalah kegiatan simpan pinjam yang dilakukan oleh KSP atau credit unions.

DANA CADANGAN

Dana cadangan diperoleh dan dikumpulkan dari penyisihan sebagian sisa hasil usaha (SHU) tiap tahun, dengan maksud jika sewaktu-waktu diperlukan untuk menutup kerugian dan keperluan memupuk permodalan. Posisi dana cadangan dalam sisi pasiva menunjukkan bahwa jika terjadi kerugian dengan sendirinya akan terkompensasi dengan dana cadangan, dan apabila tidak mencukupi ditambah dengan simpanan. Dapat dimengerti adanya ketentuan dalam hukum dagang bahwa jika kerugian suatu perusahaan mencapai lebih dari setengah modalnya wajib diumumkan. Karena modal perusahaan sudah berkurang dan beresiko.

Pemupukan dana cadangan koperasi dilakukan secara terus-menerus berdasarprosentase tertentu dari SHU, sehingga bertambah setiap tahun tanpa batas. Jika koperasi menerima fasilitas pemerintah, ditentukan bahwa prosentasi penyisihan dana cadangan semakin besar. Dana cadangan sering lebih besar jumlahnya disbanding simpanan anggota. Apabila dana cadangan sering lebih besar jumlahnya dibanding simpanan anggota. Apabila dana cadangan menjadi sangat besar dan simpanan anggota. Apabila dana cadangan menjadi sangat besar dan simpanan anggota tetap kecil, maka koperasi tidak ubahnya seperti perusahaan bersama atau mutual company (onderling;perusahaan tanpa pemilik). Ada yang berpendapat bahwa memang mutual company merupakan bentuk akhir dari koperasi, yang tentu bukan menjadi tujuannya. Dilihat dari tujuan dana cadangan untuk menutup kerugian setelah mencapai sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah modal koperasi. Sebelum mencapai jumlah tersebut penggunaannya dibatasi hanya untuk menutup kerugian. Setelah tercapai jumlah tersebut dapat ditambah sesuai dengan kepentingan koperasi.
Ada pendapat di kalangan koperasi bahwa bdana cadangan merupakan modal social, bukan milik anggota dan tidak boleh dibagikan kepada anggota sekalipun dalam keadaan koperasi dibubarkan. Sebenarnya tidak tepat ada larangan penggunaan dana cadangan termasuk untuk dibagikan kepada anggota, sepanjang tidak melanggar batas minimumnya. Misalnya pada saat koperasi mengalami kerugian dalam tahun buku tertentu, tetapi ingin membagikan SHU kepada anggota dengan pertimbangan tidak merugikan usaha koperasi dan melanggar ketentuan tentang dana cadangan.

Sumber :

Sabtu, 06 November 2010

Ekonomi Rakyat dan UKM


Bahwa istilah UKM (Usaha Kecil dan Menengah) telah “resmi” dipakai untuk “mengganti” istilah ekonomi rakyat rupanya tidak diragukan lagi oleh masyarakat termasuk pemerintah, meskipun “GBHN Reformasi” dan PROPENAS penuh dengan kata-kata “ekonomi kerakyatan” yaitu “sistem ekonomi yang memihak pada ekonomi rakyat”, bukan “sistem ekonomi yang memihak pada UKM”. Itulah akibat dari posisi ketergantungan kita pada bantuan asing, karena “donor-donor” internasional menggunakan dan lebih paham pada istilah SME (Small and medium Enterprise) yang terjemahan bahasa Indonesianya adalah UKM.

Syukur kita telah berhasil dengan selamat menerbitkan majalah elektronik JER yang telah berusia satu tahun, dan penerbitan kali ini adalah No. 1 Tahun II. Melalui JER kami akan terus mempertahankan menggunakan istilah ekonomi rakyat, dan bukan UKM. Penggunaan istilah UKM makin jelas bahayanya sebagai istilah yang tidak tepat bahkan keliru karena makin jelas ia akan menjadi “pemangsa” (predator) yang akan memangsa kredit-kredit UKM yang sesungguhnya merupakan “hak atau porsi” ekonomi rakyat yang jauh lebih mikro dari UKM. Inilah bahaya yang ingin kita ingatkan dalam penggunaan istilah UKM yang dalam definisinya mencakup kredit paling rendah Rp 5 juta dan paling tinggi Rp 5 milyar, dan pemerintah melalui Menko Kesra menyatakan akan menyalurkan kredit UKM lebih dari Rp 40 trilyun dalam tahun 2003 ini. Jika kita tidak waspada maka maksud baik pemerintah membantu ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan sekali lagi akan “dibajak” usaha-usaha besar atas nama ekonomi rakyat.

Mudah-mudahan pemerintah dan masyarakat waspada dan menyadari bahaya ini.


Yogyakarta, 1 Maret 2003

Mubyarto / Redaksi

Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/editorial.php?hlm=23

Peningkatan Nilai Tambah di Pedesaan

Pengumuman pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 mungkin merupakan berita gembira secara makro. Angka total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini turun menjadi 31 juta jiwa (13,3 persen), dari 2009 sebesar 32,6 juta jiwa (14,2 persen). Garis kemiskinan yang digunakan juga telah dinaikkan dari Rp 200.262 menjadi Rp 211.726 per bulan dengan proksi pengeluaran rumah tangga. Garis kemiskinan tersebut sebenarnya cukup rendah, karena setara dengan 78 sen dollar AS per hari, atau lebih rendah dibandingkan satu dollar per hari sebagaimana strandar internasional.

Secara mikro, potret angka kemiskinan tahun ini menjadi berita sedih, khususnya bagi sektor pertanian dan pedesaan, karena persentase angka kemiskinan di pedesaan meningkat, dari 63,4 persen pada 2009 menjadi 64,2 persen pada 2010. Peningkatan kemiskinan di pedesaan ini seharusnya ”kartu kuning” bagi para pemimpin yang masih berupaya bermain dengan retorika dan semantik politik pencitraan yang tidak berujung. Dengan membesarnya angka kemiskinan di pedesaan, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan pertanian saat ini boleh disebut gagal. Jargon revitalisasi pertanian yang pernah menjadi ikon pada era Kabinet Indonesia Bersatu jilid (KIB) pertama, kini tidak lagi nyaring terdengar. Sekian macam laporan peningkatan produksi pangan nyaris tidak berarti apa-apa karena pembangunan pertanian tidak membawa perbaikan kesejahteraan petani, atau tidak memberikan nilai tambah yang dinikmati masyarakat desa.

Peningkatan kemiskinan di pedesaan sangat berhubungan dengan fenomena penurunan produktivitas di sektor pertanian, terutama pada dekade terakhir. Ukuran produktivitas pertanian biasanya terdiri dari produktivitas lahan (produksi pangan per areal panen) dan produktivitas tenaga kerja (produksi pangan per jumlah tenaga kerja). Penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian (baca: peningkatan kemiskinan) secara langsung dan tidak langsung juga ditentukan oleh produktivitas lahan pertanian. Sejak otonomi daerah diberlakukan pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per hektar. Pada dekade 1980-an, produktivitas lahan tercatat 5,6 ton per hektar. Produktivitas tenaga kerja pertanian kini hanya 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja, yang merupakan penurunan sangat signifikan dari angka produktivitas pada dekade 1980-an yang tercatat 4,1 ton pangan per tenaga kerja.

Saat ini, pertambahan produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai masih mengandalkan peningkatan areal panen dan intensitas pertanaman, yang tentu sangat bergantung pada faktor musim. Hal ini terjadi karena upaya perbaikan sarana irigasi, drainase, dan infrastruktur lain yang menjadi sumber peningkatan produktivitas masih bermasalah. Perbaikan teknik budidaya, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit masih sangat terkait ketersediaan dan manajemen pemakaian air. Berkurangnya areal panen padi dan kedelai tahun ini sangat berhubungan dengan musim kemarau basah, karena perubahan iklim masih sulit dijinakkan. Maksudnya, fokus peningkatan produktivitas pangan yang tradisional dan terkesan seadanya sulit diharapkan membawa hasil spektakuler.

Salah satu strategi untuk menggenjot peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan adalah dengan inovasi teknologi, termasuk basis bioteknologi seperti telah dijelaskan pada editorial sebelumnya. Strategi lain yang adalah fokus pada penurun persentase kemiskinan di pedesaan melalui industrialisasi pertanian dan pembangunan pedesaan. Tidak ada pembangunan pertanian tanpa pembangunan pedesaan atau peningkatan nilai tambah di pedesaan. Aktivitas industrialisasi pertanian atau agro-industri pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mengarah pada pembangunan nilai tambah di pedesaan.

Pilihan strategi industrialisasi pertanian cukup banyak, tergantung pada kondisi pemungkin (enabling condition) yang tersedia di pedesaan dan kebijakan pendukung yan ditempuh oleh administrasi pemerintahan yang berkuasa. Pertama, adalah pembangunan berbasis pertanian yang lebih menekankan pada potensi pasar dalam negeri dan memanfaatkan jumlah penduduk yang besar. Peningkatan daya beli masyarakat dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, perluasan kesempatan kerja, perbaikan atau stabilisasi nilai tukar dan pembangunan industri yang terkait dengan sektor pertanian dan pedesaan. Kelememahannya, strategi ini terlalu berorientasi pada sisi suplai (supply-driven), yang tentu saja sangat rentan terhadap suatu ekses suplai dan anjloknya harga produk primer. Aktivitas industrialisasi tingkat lanjutan umumnya mengakibatkan ketimpangan yang cukup parah karena manfaat ekonomis lebih banyak dinikmati pelaku hilir, bukan petani di hulu sebagai pelaku atau entitas paling strategis..
Kedua, pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri dengan pertimbangan bahwa sumberdaya di pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian, karena mengandalkan lahan dan tenaga kerja. Sumberdaya pedesaan ini umumnya lebih terampil dalam hal usahatani di hulu, tetapi tidak terlalu terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Maksudnya industrialisasi pertanian yang difokuskan pada daerah pedesaan akan merangsang peningkatan kualitas sumberdaya manusia pedesaan dan pembangunan pedesaan umumnya. Di sini ditekankan pentingnya keterkaitan ke depan dan ke belakang dari suatu proses industrialisasi, yang akan berakumulasi menghasilkan nilai tambah yang cukup besar. Kelemahan utama strategi industrialisasi ini adalah ketergantungan terhadap dukungan infrastruktur, investasi dan pendanaan aktivitas ekonomi, sehingga masih terlalu mengandalkan dominasi peran pemerintah.

Ketiga, pembangunan daya dorong yang menekankan pada pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli kaum miskin dan berfungsi sebagai gelombang pendorong bagi golongan kaya. Analogi yang sama diunakan untuk menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi di sini perlu memprioritaskan perhatian pada golongan miskin dan daerah pedesaan, bukan golongan kaya dan daerah perkotaan. Kelemahan strategi supply-push ini selain karena terlalu statis dan tidak memanfaatkan peluang pasar dan permintaan, juga impresi ketidakberdayaan atau “dorongan keluar” bagi tenaga tidak terampil dari pedesaan ke perkotaan atau dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat produktivitas tenaga kerja tidak terampil ini jelas berkait erat dengan kecilnya upah buruh dan dikhawatirkan menjadi faktor kunci dalam penciptaan kemiskinan atau kantong-kantong baru kemiskinan di daerah perkotaan. .
Apa pun strategi yang dipilih, penajaman strategi industrialisasi pertanian ke depan perlu terus diupayakan seiring dengan perubahan lingkungan yang demikian cepat. Prinsip utama dalam sistem produksi pertanian yang terlalu mengandalkan keunggulan komparatif perlu dilengkapi dengan pembangunan industri pengolahan yang lebih tangguh, sedapat mungkin di daerah pedesaan . Apabila langkah penting tersebut sudah dilakukan, maka upaya lain untuk meningkatkan kinerja, sinergi kegiatan dan penguatan fungsi intelijen pasar dan pencarian pasar-pasar baru dari produk-produk industri pertanian (agroindustri) dapat dilakukan secara bersama. .
Pembenahan aturan main, aransemen kelembagaan, mulai dari tingkat norma, konvensi sampai aturan main yang tertulis dalam format undang-undang, peraturan pemerintah, tanggung jawab, reward and punishement dan rasa kepemilikan dari setiap elemen dalam proses industrialisasi pertanian. Falsafah kemitraan tripartit swasta-pemerintah-masyarakat dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah, pembenahan daya saing dan pengurangan kemiskinan di sektor pedesaan. Langkah pemberdayaan kemitraan pemerintah-swasta dan masyarakat masih harus terus menerus disempurnakan dan dimodifikasi sedemikian rupa menyesuaikan dengan tuntutan efisiensi mikro serta akses stabilitas ekonomi makro yang disyaratkan dalam ekonomi pembangunan modern..
Bintaro Jaya, September 2010

Bustanul Arifin

sumber : http://www.ekonomirakyat.org/editorial.php?id=9

Sabtu, 16 Oktober 2010

Koperasi sebagai dalam sistem ekonomi

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah Koperasi. Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai Koperasi.
Dalam wacana sistem ekonomi dunia, Koperasi disebut juga sebagai the third way, atau “jalan ketiga”, istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai “jalan tengah” antara kapitalisme dan sosialisme.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Ia mendirikan Koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. R. Aria Wiriatmadja atau Tirto Adisuryo, yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Seorang pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, Booke, juga menaruh perhatian terhadap Koperasi. Atas dasar tesisnya, tentang dualisme sosial budaya masyarakat Indonesia antara sektor modern dan sektor tradisional, ia berkesimpulan bahwa sistem usaha Koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijakan pembinaan Koperasi.
Meski Koperasi tersebut berkembang pesat hingga tahun 1933-an, pemerintah Kolonial Belanda khawatir Koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, namun Koperasi menjamur kembali hingga pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan Koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Bung Hatta meneruskan tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Ketertarikannya kepada sistem Koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan Koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang Koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara “Koperasi sosial” yang berdasarkan asas gotong royong, dengan “Koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif.
Bagi Bung Hatta, Koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu Koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi. Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota Koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan Koperasi. Dengan cara itulah sistem Koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau Koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Dewasa ini, di dunia ada dua macam model Koperasi. Pertama, adalah Koperasi yang dibina oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis. Kedua, adalah Koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Jika badan usaha milik negara merupakan usaha skala besar, maka Koperasi mewadahi usaha-usaha kecil, walaupun jika telah bergabung dalam Koperasi menjadi badan usaha skala besar juga. Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, Koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, Koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian.
Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya tiga macam Koperasi. Pertama, adalah Koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah Koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga, adalah Koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industri kecil dan Koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil.
Menurut Bung Hatta, tujuan Koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa Koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Koperasi bisa pula membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari anggotanya, baik anggota Koperasi primer maupun anggota Koperasi sekunder. Contohnya adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan berbagai Koperasi batik primer.
Karena kedudukannya yang cukup kuat dalam konstitusi, maka tidak sebuah pemerintahpun berani meninggalkan kebijakan dan program pembinaan Koperasi. Semua partai politik, dari dulu hingga kini, dari Masyumi hingga PKI, mencantumkan Koperasi sebagai program utama. Hanya saja kantor menteri negara dan departemen Koperasi baru lahir di masa Orde Baru pada akhir dasarwarsa 1970-an. Karena itu, gagasan sekarang untuk menghapuskan departemen Koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah, bukan hal yang mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal kantor menteri negara atau departemen Koperasi. Bahkan, kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun tidak ada departemen atau menteri negara yang khusus membina Koperasi.
Pasang-surut Koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban njelimet, terlontar dari seorang peserta. “Mengapa jarang dijumpai ada Koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah “habitat” alamnya di Indonesia?” Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan.
Padahal, upaya pemerintah untuk “memberdayakan” Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga “paket program” dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun, kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis “pupuk bawang”, pelaku bisnis tak profesional.
Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang berhubungan dengan semangat. Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila Koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian.
Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah “badan usaha”, juga “perkumpulan orang” termasuk yang “berwatak sosial”. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni “organisasi sosial yang berbisnis” atau “lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial.”
Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. Hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional. Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis.
Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapat ——– Koperasi di Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar dan beragam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.

http://blog.beswandjarum.com/sigitandi/koperasi-sebagai-dalam-sistem-ekonomi.html

Kamis, 14 Oktober 2010

KAJIAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TAHAP LANJUT SENTRA BISNIS UKM PASCA DUKUNGAN PROGRAM PERKUATAN

I.  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) telah mampu menunjukkan kinerja yang relatif lebih tangguh dalam menghadapi masa krisis yang panjang. Pada tahun 2005 jumlah UKM tercatat 44,6  juta unit atau 99,99% dari keseluruhan unit usaha ekonomi yang ada, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja sebesar 88,7% dari jumlah tenaga kerja yang ada, atau mencapai 68,28 juta orang. data ini mengindikasikan UKM dapat menjadi motorpenggerak bagi pertumbuhan ekonomi nasional, walaupun rata-rata produktifitasnya relatif masih rendah. mengingat struktur UKM yang khas, dengan heterogenitas yang cukup tinggi, maka pendekatan pembangunan UKM melalui sentral/klaster menjadi salah satu langkah yang dianggap strategis. untuk itu proses pengembangan sentra UKM yang selama ini dilakukan (sejak tahun 2001), disertai dengan memberikan bantuan perkuatan, baik dalam bentuk financial maupun nonfinancial. salah satu hasil kajian terhadap sentra yang dilakukan pada tahun 2003 dan 2004 menunjukkan bahwa :
  1. Paling tidak telah ada dampak positif pengembangan sentra dalam bentuk peningkatan kapasitas sentra, walupun kondisi itu belum disertai dengan peningkatan produktifitasnya, 
  2. Sudah terjalin kerja sama antar UKM dalam sentra yakni dibidang pemasaran (24%) dan pengadaan bahan baku (19%)
  3. Ditemukan ada persaingan antar UKM dalam sentra yang cukup tinggi.
Dari beberapa hal diatas dapat dikatakkan bahwa, banyak hal yang memerlukan perhatian lebih lanjut dalam proses pembinaan dan pengembangan sentra bisnis UKM pasca dukungan perkuatan, termasuk juga keterkaitan sentra dengan lembaga-lembaga pelaksana yang melakukan dukungan perkuatan antaralain BDS dan KSP/USP.

1.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai permasalahan yang ada, terdapat tiga masalah yang akan dilihat dalam pengkajian ini yaitu :
  1. Bagaimana kemandirian dan kesiapan sentra bisnis UKM pascadukungan perkuatan dalam hal kemampuan dan kompetensinya menghadapi tantangan kompetisi bisnis.
  2. Apa Keysucces factors yang menentukan keberhasilan sentra bisnis, serta merumuskan strategi tahap lanjut pengembangannya
  3. Seberapa besar dan bagaimana peran BDS dan KSP/USP dalam pengembangan sentra bisnis UKM
1.3 Tujuan dan Manfaat

Kajian ini bertujuan untuk :
  1. Mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan sentra bisnis yang mendapat dukungan finansial dan nonfinansial
  2. Menganalisis kesiapan dan kemandirian sentra-sentra bisnis pasca dukungan perkuatan 
  3. Menginfentarisasi bentuk-bentuk fasilitas yang diperlukan oleh sentra bisnis pasca dukungan perkuatan
Hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat sebagao bahan masukkan bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan pengembangan tahap lanjut sentra bisnis UKM pasca dukungan perkuatan dan perbaikan pembinaan bagi sentra yang masih proses dukungan perkuatan.

II. KERANGKA BERPIKIR

Yang dimaksud dengan sentra bisnis pasca dukungan perkuatan adalah sentrabisnis yang telah mendapat dukungan perkuatan nonfinansial selama 3tahun, sementara dukungan finansial melalui KSP/USP masih berlanjut. Sesuai dengan tujuan pemberian perkuatan, seyogyangya bagi sentrabisnis yang sudah selsai periode perkuatannya sudah mampu menjalankan dan mengmbangkan sentranya sendiri dengan atau tanpa bantuan. hasil analisis sementara menyatakan sebelum terlihat adanya perkembangan yang sinifikan terhadap kelompok sentra tersebut diatas.

Untuk lebih memfokuskan kajian ini, maka objek amatan akan dibatasi pada sepuluh sektor yang cukup dominan diusahakan oleh sentra. hasil kajian kementrian koperasi dan UKM tahun 2004 menginformasikan jumlah sentra mencapai 1120 unit yang tersebar dalam 47 sektor usaha. dari jimlahitu terdapat sepuluh sektor utama (67,75%) yang dikelola oleh banya sentra, dengan komposisi penyebaran sebagai berikut :
  1. Indusrti barang-barang kayu/bambu/rotan 168 unit ( 18,30%)
  2. Perikanan laut dan hasil lainnya 87 unit ( 9,48%)
  3. Tanaman perkebunan dan tanaman lainnya 75 unit (8,17%)
  4. Indutri tekstil dan tekstil jadi kecuali pakaian 59 unit ( 6,43%)
  5. Industri roti, biskuit, mie, makaroni, lainnya 53unit ( 5,78%)
  6. Industri pakaian jadi dan barang rajutan 49 unit ( 5,43%)
  7. Unggas dan lainnya 37 unit ( 4,03%)
  8. Peternakkan 35 unit ( 3,81%)
  9. Perikanan darat dan hasil perairan darat 32 unit ( 3,49%)
  10. Industri barang-barang dari tanah liat 27 unit (2,94%)
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai , maka kajian ini didekati melalui pola sebagaimana terlihat pada skema 1
2.1 Ruang  Lingkup

Ruang lingkup kajian meliputi :
  1. Menganalisis dampak dukugan perkuatan terhadap peningkatan kapasitas bisnis UKM di sentra binsnis. Analisi ini mencakup penilaian terhadap komponen output, dan komponen UKM dari Sentra bisnis
  2. Menganalisis dampak perkuatan terhadap kemandirian sentra bisnis
  3. Analisis tentang bentuk-bentuk dukungan perkuatan yang dibutuhkan oleh sentra pasca dukungan perkuatan
  4. Memotret dan menganalisis kinerja sentra bisnis UKM yang masih mendapat dukungan perkuatan
  5. Menganalisis efektifitas peran BDS dan KSP dalam pengembangan sentra bisnis

III.  METODE KAJIAN

Kajian ini termasuk jenis survei, yang dilaksanakan di 32 propinsi, metode pengumpulan data yang digunakan quantitative research yaitu melalui pendekatan quantitative survey dengan menggunakan kuesioner berstruktur dan desk research atas materi terkait.

Data yang akan dianalisis adalah data primer dan data sekunder. data primer berupa data runtun waktu (time series) dan cross section yang dikumpulkan dari lapangan terjadap sentrabisnis UKM, BDS, KSP/USP dan UKM kabupaten atau kota dan propinsi dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah responden kajian terdiri dari 84 sentra yang terdiri dari 10 sektor yaitu industri kayu/rotan/bambu, perikanan laut, perkebunan, tekstil, makanan dan minuman, pakaian jadi, unggas, peternakan, perikanan darat, barang-barang dari tanah liat yang meliputi 840 UKM, 84 BDS dan 84 KSP/USP.

Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah :
  1. Analisis deskriptif dan chi-square: Dilakukan untuk menggambarkan posisi dan kondisi responden dengan menggunakan metode distribusi frekuensi. Analisis distribusi frekuensi ini akan menggambarkan kecenderungan frekuensi fariable yang diamati.
  2. Pendekatan matrix profil kompetitif : pendekatan ini ditujukkan untuk menilai kinerja sektor unggulan yang akan diproyeksikan untuk menuju ke kluster (metode pembobotan dan rating)
  3. Analisis EFE (External Factor Evaluation) : Analisis ini ditujukkan untuk menentukan sepberapa besar peluang dan ancaman yang dihadapi oleh sentra pada 10 sektor.
  4. Analisis IFE (Internal Factor Evaluation) : Analisis ini ditujukkan untuk menentukan seberapa besar kekuatan dan kelemahan sentra pada 10 sektor.
  5. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, And Threats) : Untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh masing-masing sentra bisnis UKM pada 10 sektor.
  6. Matrix internal eksternal : Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran strategi  yang lebih spesifik untuk memfokuskan pada hasil penghitungan EFE, IFE, dan analisis SWOT.
IV. HASIL KAJIAN
4.1 Gambaran Umum

Sebagian besar yang ada berlokosi di pulau jawa. Bali sebanyak 4.558 (46,5%), diikuti oleh Sumatera 1.810 (18,5%), Sulawesi 1.102 (11,3%), dan sisanya di Kalimantan beserta pulau-pulau lainnya.Disisi lain, sekitar 80 % industri-industri bersekala besar dan menengah berada di pulau Jawa. kondisi ini seiring dengan kepadatan penduduk yang tinggi di pulau tersebut. jika dilihat dari populasi UKM didaalam sentra, maka sekitar 74% sentra didaerah jawa.Bali memiliki lebih 100 UKM didalamnya. Berikut ini penyebaran sentra bisnis di Indonesia :


Penyebaran sentra bisnis UKM di Indonesia :
  1. Perkuatan financial MAP (Modal Awal Padanan) yang disalurkan melalui KSP/USP jumlah sentra yang mendapat perkuatan dana dari pemerintah mulai tahun2001 sampai dengan tahun 2004 sebanyak 1120 sentra yang meliputi 36.960 UKM. rata-rata jumlah UKM per sentra adalah 33 UKM dan jumlah ini relatif tetap setiap tahunnya.Jumlah dan perkuatan yang dikucurkan oleh pemerintah sampi dengan saat ini adalah sebesar Rp. 225.250.000.000,- yang disalurkan melalu KSP/USP yang ditunjuk. Rata-rata alokasi dana perkuatan persentra bisnis UKM antara 200juta sampai 250 juta, dan rata-rata perkuatan perUKMnya sebesar Rp. 7,3Juta. Hal ini secara rinci dijelaskan pada tabel 1 berikut ini :

  1. Perkuatan Non finansial melalui BDS ( business Development Service) perkuatan Non finansial diberikan UKM di dalam sentra bisnis melalui BDS. Hingga tahun 2005 jumlah BDS yang di fasilitasi untuk melakukan pembinaan kepada sentra bisnis sebanyak 957 BDS. Dalam hal ini terdapat 10 program layanan yang menjadi tugas BDS diantaranya tugas perdampingan, layanan informasi, konsultasi, perluasan akses pasar, pengembangan teknologi, penyusunan proposal dan lainnya. Dalam menjalankan tugasnya , BDS mendapat dukungan dana operasional masing-masing sebesar 50 juta sebagai stimulasi dalam menjalankan tugasnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dana ini digunakan untuk membantu BDS dalam memberikan pelayanan kepada sentra bisnis UKM, dengan alokasi sebagai berikut.  

 4.2 Perkembangan Dukungan Perkuatan Finansial pada Sentra Bisnis UKM di 10 Sektor

Dana dukungan perkuatan finansial yang disalurkan pada sentra bisnis UKM pada 10 sektor sebesar Rp. 643.395.317,- dan rata-rata perkuatan untuk UKM per sentra per sektor sebesar Rp. 64.339.531,68 untuk pasca perkuatan dan untuk on going Rp. 75.757.073. Untuk mengetehui perkembangan dana perkuatan finansial tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini .

Tabel 2. Jumlah Dana Perkuatan MAP yang Disalurkan KSP/USP pada 10 Sektor


http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/Hal_1.pdf